A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan jaman pola penyakit berubah dari penyakit infeksi dan penyakit rawan gizi ke penyakit-penyakit degeneratif kronik seperti penyakit jantung dan pembuluh darah yang paling tinggi prevalensinya dalam masyarakat umum dan berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas. Penyakit jantung dan pembuluh darah diperkirakan akan menjadi penyebab utama kematian secara menyeluruh dalam waktu lima belas tahun mendatang, perkembangan terkini memperlihatkan penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis, pada tahun 2010 penyakit ini akan menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi (WHO 2010).
World Health Organization (WHO) melaporkan non comunicable disease (NCDs) dari 57 juta kematian yang secara global pada tahun 2008, 36 juta atau hampir dua pertiga adalah karena NCDs, terdiri dari kardiovaskuler, kanker, diabetes, penyakit paru-paru kronis (WHO, 2010). Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskuler, berdasarkan laporan dari riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala ( Riskesdas, 2007).
Penyakit kardiovaskuler merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara maju dan berkembang, penyakit ini dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu gangguan fungsi jantung, gangguan struktur jantung, infeksi dan non inflamasi, serta gangguan system vascular ( Brunner dan Suddarth, 2002 ). Berdasarkan proporsi angka kematian di perkotaan pada kelompok umur 45-54 tahun, penyakit jantung iskemik menduduki urutan ketiga (8.7%) sebagai penyebab kematian, urutan pertama adalah stroke ( 15,9%) dan urutan kedua adalah diabetes militus (14,7%) (Riskesdas 2008).
Penyakit jantung iskemik merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada arteri koroner atau disebut penyakit jantung koroner (PJK), Sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner adalah sebesar 26,4 %,) dan sampai dengan saat ini PJK juga merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40 % dari sebab kematian laki-laki usia menengah. Penyebab utama PJK adalah aterosklerosis, yang merupakan proses multifaktor, kelainan ini sudah mulai terjadi pada usia muda, diawali terbentuknya sel busa, kemudian pada usia antara 10 sampai 20 tahun berubah menjadi bercak perlemakan dan pada usia 40 sampai 50 tahun bercak perlemakan ini selanjutnya dapat berkembang menjadi plak aterosklerotik yang dapat berkomplikasi menyulut pembentukan trombus yang bermanifestasi klinis berupa infark miokardium maupun angina (nyeri dada).
Berbagai cara yang digunakan untuk mengenali/ diagnosis adanya PJK, mulai dari teknik non invasif seperti elektrokardiografi (EKG) sampai pemeriksaan invasive seperti arteriografi koroner (kateterisasi jantung), kateterisasi jantung merupakan tindakan prosedur diagnostik invasif dengan cara memasukan satu atau beberapa kateter ke dalam jantung atau pembuluh darah koroner untuk mengukur tekanan dalam berbagai ruangan jantung, menentukan saturasi oksigen dalam darah, mengetahui adanya penyumbatan dalam arteri koroner, fungsi katup dan kelainan jantung (Brunner & Suddarth 2002). Selain mempunyai fungsi yang menunjang diagnostik, tindakan kateterisasi jantung mempunyai beberapa risiko yaitu: aritmia, emboli, perubahan saraf, perubahan vasovagal dan gangguan tambahan lain adalah iskemik, alergi dan komplikasi pembuluh darah (Brunner & Suddarth, 2002)
Berdasarkan data dari ruang tindakan kateterisasi jantung di RSUP DR. Sardjito bulan Januari sampai dengan Mei 2012 terdapat 567 pasien yang dilakukan tindakan kateterisasi jantung 414 pasien (73%) dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung koroner (koronografi dan PTCA+Stent), 153 pasien bukan penyakit jantung koroner (Buku laporan Ruang Kateterisasi Jantung, 2012). Tindakan kateterisasi jantung merupakan tindakan invasif yang bagi beberapa orang akan menimbulkan reaksi stres baik psikologis (kecemasan) maupun secara fisiologis berupa peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi. Hal ini sangat berbahaya karena tingginya tekanan darah dan frekuensi nadi akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan kerja jantung sehingga dapat meningkatkan risiko komplikasi jantung. Reaksi stress tersebut ditemukan pada pasien pra kateterisasi jantung 15 % menyatakan secara lisan depresi atau ketakutan, 30% mengalami kesedihan yang mendalam dan 65 % mengalami kecemasan ( Buzatto, 2010).
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan ini tidak memiliki objek yang spesifik, yang dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2006). Hasil survey awal yang dilakukan peneliti di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito tanggal 8 Oktober-1 November 2012 menggunakan Hamilton Anxety Rating Scale (HARS) didapatkan hasil dari 10 pasien yang akan dilakukan kateterisasi jantung terdapat pasien dengan cemas sedang 2 orang (20%), cemas berat 1 oran (10 %), cemas ringan 4 orang ( 40% ) dan tidak ada kecemasan 3 (30%). Hasil wawancara dengan penanggung jawab ruang kateterisasi jantung, perawat dan dokter di ruang kateterisasi jantung RSUP DR Sardjito di dapatkan sebagian besar respon pasien saat masuk ke ruang kateterisasi jantung ekspresi wajah terlihat takut, bingung, bahkan ada yang tekakan darah mendadak meningkat dan frekuensi denyut jantung meningkat.
Penyebab timbulnya kecemasan pada pasien pre kateterisasi jantung antara lain: tidak ada teman/sahabat yang mendapingi, penyampain prosedur pertama kali, kurangnya informasi yang memuaskan dan lamanya waktu menunggu (Buzatto, 2010). Kecemasan pada pasien kateterisasi jantung menjadi signifikan apabila tidak mendapatkan pengobatan memadai, dapat menyebabkan ketegangan, gelisah, dan mungkin membahayakan keberhasilan prosedur. Di sisi lain, oversedation farmakologis pemberian obat anti cemas dapat memprovokasi depresi pernafasan dan kardiovaskuler, sehingga meningkatkan risiko prosedural dan menunda pemulihan pasien. Tingginya kadar kecemasan pasien dapat memperpanjang waktu kateterisasi jantung, meningkatkan penggunaan obat penenang dan obat nyeri, dan meningkatkan risiko komplikasi (AGI, 2006). Penurunan kecemasan pasien dapat diupayakan dengan mendekatkan teman atau keluarga, memberikan informasi teoritis, memberikan psikoedukasi agar pasien bisa mengendalikan kecemasan, memberikan terapi musik, relaksasi dan guided imagery (Buzatto, 2010).
Psikoedukasi adalah sebuah terapi modalitas yang dilakukan secara professional dan mengintegrasikan serta mensinergikan antara psikoterapi dan intervensi edukasi (Cartwright, 2007). Manfaat dari psikoedukasi dapat membantu mengatasi kecemasan, mengurangi depresi, membantu perasaan jadi lebih nyaman, membantu memecahkan masalah dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri (Adryan, 2002)
Terapi psikoedukasi banyak dilakukan pada pasien dengan gangguan kesehatan mental dan diberikan juga terhadap keluarga pasien yang mengalami gangguan mental, dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakitnya, meningkatkan kerjasama dalam perawatan, pengobatan dan memperkuat mekanisme koping (Susana, 2007). Intervensi psikoedukasi juga di lakukan pada pasien dengan gangguan fisik yang mempunyai respon kecemasan. Dunbar et. al 2009, dalam penelitianya menunjukan bahwa pemberian intervensi psikoedukasi pada pasien dengan pemasangan Implantable Cardioverter Defibrillator dapat menurunkan kecemasan dan menurunkan gejala awal depresi dalam 1 tahun dengan P<0 .05.="" 15-20="" 2008="" adalah="" al="" dan="" dengan="" depresi="" di="" diberikan="" diskusi="" div="" dukungan="" edukasi="" efektif="" et="" intervensi="" jawab="" juga="" kanker="" kecemasan="" klinik="" kontak="" lokal="" materi="" maupun="" menit="" menurunkan="" nasional="" onkologi="" pada="" pasien="" pemberian="" pengenalan="" prosedur="" psikoedukasi="" quellon="" respon="" ruang="" servis="" sevis="" tanya="" terapi="" untuk="" waktu="" yang="">
Guided imagery menurut Patricia(dalam Kalsum, 2007) adalah suatu teknik yang menggunakan imajinasi individu dengan imajinasi terarah untuk mengurangi stres. Guided imagery dapat digunakan dalam berbagai keadaan antara lain mengurangi stres dan rasa nyeri, kesulitan tidur, elergi atau asma, pusing, migren, hipertensi, dan keadaan lain. Sedangkan menurut Martin (dalam Kalsum, 2007) guided imagery merupakan media yang sederhana dan tidak memerlukan biaya untuk mengurangi stres dan kecemasan serta dapat meningkatkan mekanisme koping.
Menurut Healthwise (2011) Guided imagery yang dilakukan dalam waktu 10 menit mampu mengurangi tekanan darah, menurunkan kolesterol, kadar glukosa darah dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Pemberian terapi guided imagery dapat diberikan di tempat tidur dalam waktu 10-15 menit diberikan oleh berbagai layanan kesehatan terlatih dengan biaya yang murah, hasil penelitian telah terbukti mengurangi kecemasan dan penggunaan anxiolytics, serta meningkatkan kepuasan pasien dalam berbagai setting medis. Dalam studi terpisah guided imagery terbukti secara signifikan mengurangi kecemasan dan kekhawatiran di antara pasien menghadapi operasi abdomen, kateterisasi jantung dibandingkan dengan perawatan biasa. (Stolling, 2012).
Teknik guided imagery ini sangat bermanfaat untuk mengurangi stress dan kecemasan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Kalsum et. al terhadap 16 pasien di wilayah Lowokwaru Malang tahun 2011. Hasil menyatakan bahwa terjadi penurunan 81% pada kecemasan pada insomnia. Sesuai dengan hasil penelitian Sutrimo 2012, terdapat pengaruh yang signifikan guided imagery music terhadap skor kecemasan pre operasi SC di RSUD Banyumas dengan nilai p=0,033 dan rata-rata penurunan sebesar 2,03.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dilakukan oleh peneliti tanggal 15 Juli 2012 didapatkan bahwa perawat belum menyiapkan pasien pre kateterisasi jantung secara komprehensif, persiapan perawat masih berorientasi pada persiapan fisik pasien dan belum secara optimal menyiapkan psikologis, disamping itu belum ada penggunaan blangko pengkajian khusus kecemasan dan belum diterapkan psikoedukasi dan guided imagery untuk menurunkan kecemasan.
B. Rumusan Masalah
Angka kejadian penyakit jantung semakin meningkat, salah satu pemeriksaan diagnostik dan terapi yang dilakukan adalah kateterisasi jantung, terdapat 73% pasien kateterisasi di RSUP Dr. Sardjito adalah tindakan koronografi, untuk mendeteksi PJK, dari sejumlah penelitian menyatakan bahwa tindakan kateterisasi dapat menimbulkan kecemasan, upaya penurunan kecemasan bisa diberikan dengan terapi nonfarmakologi. Penggunaan terapi psikoedukasi dan guided imagery telah terbukti secara signifikan dapat menurunkan kecemasan pasien dengan berbagai kasus penyakit. Oleh sebab itu maka perlu di lakukan penelitian: apakah pemberian psikoedukasi maupun guided imagery efektif dalam menurunkan kecemasan pasien prekateterisasi jantung?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas terapi psikoedukasi, guided imagery terhadap kecemasan.
2. Tujuan Kusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kecemasan pasien pre kateterisasi jantung sebelum dan sesudah dilakukan terapi psikoedukasi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta .
b. Untuk mengetahui kecemasan pasien pre kateterisasi jantung sebelum dan sesudah dilakukan terapi guided imagery di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
c. Untuk mengetahui kecemasan pasien pre kateterisasi jantung tanpa dilakukan terapi psikoedukasi dan guided imagery ( sesuai protap ruangan) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis (Keilmuan)
a. Metode psikoedukasi dan guided imagery sebagai salah satu terapi keperawatan yang dapat digunakan bagi pasien yang mengalami kecemasan.
b. Penelitian ini sebagai evidence based dalam mengembangkan intervensi psikoedukasi dan guided imagery .
2. Manfaat Praktis (Guna Laksana)
a. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam menerapkan intervensi psikoedukasi dan guided imagery .
b. Mengurangi tingkat kecemasan pasien prekateterisasi jantung.
c. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan khususnya pasien prekateterisasi jantung.
E. Penelitian Terkait
Dari penelusuran yang penulis lakukan belum ada judul yang sama dengan yang akan penulis lakukan, ada beberapa penelitian yang hampir sama tetapi ada perbedaan dari kasus dan tempat yang berbeda:
1. The Effects of Guided Imagery on Comfort, Depression, Anxiety, and Stress of Psychiatric Inpatients with Depressive Disorders oleh Alves and Katharine: Persamaan pada penelitian adalah efektifitas guided imagery untuk menurunkan kecemasan, sedangkan perbedaannya adalah subyek yang diteliti dilakukan pada pasien psikiatri dengan menggunakan instrument DASS-21, sedangkan yang akan penulis lakukan subyek penelitianya adalah pasien prekateterisasi jantung dengan instrument menelitian HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale).
2. Effect of a Psychoeducational Intervention on Depression, Anxiety, and Health Resource Use in Implantable Cardioverter Defibrillator Patients oleh Sandra, et al : persamaan pada penelitian ini adalah efektifitas psikoedukasi untuk menurunkan kecemasan pada pasien dengan permasalahan pada kardiovaskuler, perbedaannya adalah subyek yang diteliti yaitu pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler dengan pemasangan implantable cardioverter defibbrilator, dan pada penelitian ini adalah pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang akan dilakukan tindakan kateterisasi jantung.
3. Pengaruh teknik guided imagery terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien wanita dengan gangguan tidur (insomnia) usia 20-25 tahun di Kelurahan Ketawanggede Kecamatan Lokowaru Malang oleh Kalsum dkk, persamaan pada penelitian ini adalah variabel guided imagery dalam menurunkan kecemasan, sedangkan perbedaan pada penelitian ini adalah subyek yang diteliti dilakukan pada pasien dengan gangguan insomnia yang berada di masyarakat, sedangkan yang akan penulis lakukan subyek penelitianya adalah pasien pre-kateterisasi jantung yang di rawat di rumah sakit.
4. Pengaruh guided imagery music ( GIM) terhadap kecemasan pasien SC di RSUD Banyumas, dengan hasil Terdapat pengaruh yang signifikan GIM terhadap skor kecemasn pre operasi SC di RSUD Banyumas dengan nilai p=0,033 dan rata-rata penurunan sebesar 2,03. Persamaan dalam penelitian ini adalah penggunaan terapi guided imagery dalam menurunkan kecemasan pasien. Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu metode, populasi, sampel dan tempat penelitian
5. Pengaruh guided imagery relaxation terhadap nyeri kepala pada pasien cedera kepala ringan, Metode yang digunakan adalah quasi eksperiment dengan pretest dan posttest tanpa control, uji statistik menunjukan guided imagery secara signifikan (p=0.01) menurunkan tingkat nyeri pada pasien cedera kepala ringan, tetapi pasien belum terbebas rangsang nyeri, persamaan pada penelitian ini adalah variabel terapi guided imagery. Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu metode, populasi, sampel dan tempat penelitian
6. Ningrum (2010) dengan judul penelitian “Program Psikoedukasi Bagi Pasien Diabetes Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup”. Hasil penelitian menyatakan bahwa perasaan cemas merupakan salah satu perasaan yang dialami pasien ketika didiagnosa menderita penyakit diabetes, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu metode, populasi, sampel dan tempat penelitian.
0>
Terimakasih anda telah membaca artikel tentang Latar Belakang Tentang Penyakit Mematikan. Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan anda untuk mencantumkan link https://makeayoutubevideos.blogspot.com/2015/10/latar-belakang-tentang-penyakit.html. Terimakasih atas perhatiannya.